Kejayaan di Era Berlusconi

Table of Contents

 

Kejayaan-di-Era-Berlusconi

Pada 1899, sekumpulan pekerja dari Milan, serta pesepak bola Inggris dan Swiss bekerja sama dengan komunitas gimnastic Mediolanum. Setelah menggelar berbagai pertemuan, mereka membentuk Milan Cricket and Football Club pada 16 Desember 1899.

Hanya berselang dua tahun, Milan langsung menuai sukses dengan menjuarai kompetisi sepak bola yang merupakan cikal bakal Serie A pada Mei 1901. Salah satu pemain yang berpengaruh di klub tersebut adalah kapten tim, pesepak bola asal Nottingham, Inggris. 

Seperti halnya Edoardo Bosio di Turin dan James Richardson Spensley di Genoa, Kilpin juga memegang peran penting dalam perkembangan sepak bola di Milan. Padahal semasa di Inggris pada abad 1800-an, Kilpin hanyalah figur minor bersama klub bernama Garibaldi Nottingham.

Gaya permainan Kilpin dinilai lebih modern ketimbang pesepak bola Italia lainnya karena besar di Britania. Tak jarang, Kilpin sering membuat lawan-lawannya kesulitan saat mencoba menjaganya. Saking jagonya menggocek bola, dia pun mendapat julukan Il Lord (sang Raja).

Manajer legendaris Italia, Vittorio Pozzo, memiliki kenangan indah terhadap kehebatan Kilpin. Bahkan, menurut dia, Kilpin akan berlari ke belakang gawang Milan dan menenggak Whisky bak air mineral jika gagal menjaga lawan.

John Foot dalam karyanya, Calcio- A History of Italian Football (2006), menuliskan, Kilpin menentukan warna kostum kebesaran Milan yang dipakai hingga saat ini. Keterlibatan pemain yang mahir tampil sebagai bek, gelandang, dan penyerang itu pun berperan penting dalam menentukan julukan Milan, Il Diavolo Rosso (Iblis Merah). Menurut John Foot, julukan tersebut berkaitan dengan agama Protestan yang dianut Klipin. Pada masa itu, Milan memang dikenal sebagai salah satu kota yang mayoritas masyarakatnya pemeluk Katolik. 

"Kostum kita harus berwarna merah karena kita adalah para setan. Merah diambil karena ini warna api dan mari kita tambah warna hitam agar bisa membuat lawan takut," ungkap seorang relasi Kilpin dalam Calcio- A History of Italian Football.

Kecintaan Kilpin terhadap Milan pun terlihat dalam kehidupan pribadinya. Harian Inggris, Nottingham Post (21 April 2014), mengungkapkan, Kilpin pernah bertengkar dengan sang istri, Maria Capua, karena harus bertanding melawan Grasshoppers of Zurich, di Jenewa, Swiss, tak lama setelah menikah. "Saya tidak akan menikahi kamu jika kamu menghalangi saya bermain sepak bola," ucap Kilpin kala itu. Akhirnya, Kilpin tetap bertanding di Swiss. Ia pun sempat membuat sang istri menangis karena pulang dengan hidung patah akibat ditendang pemain lawan pada laga tersebut.

Perpecahan di tubuh Milan

Seusai berhasil meraih gelar juara pada 1906 dan 1907, Milan mulai mengalami penurunan prestasi. Salah satu penyebabnya dikabarkan karena perpecahan yang terjadi di tubuh Milan. Perpecahan tersebut dikabarkan bermula ketika salah satu anggota manajemen Milan, Giorgio Migguiani bersama dengan 42 orang yang satu visi dengannya berkumpul di sebuah restoran bernama The Clock.

Mereka ditengarai kesal karena banyak pesepak bola asing masuk bermain di Milan. Bahkan, saat rival Milan, Inter Milan membentuk tim, sebanyak delapan pemain asal Swiss masuk ke skuat utama. Alhasil, perpecahan mulai terasa setelah berbagai friksi muncul dari para anggota klub.

Bahkan pada 1910, Inter melibas Milan dua kali dengan skor 5-0 dan 5-1. Namun, memasuki periode 1950-an, Milan berangsur bangkit. Mengandalkan trio Swedia, Gunnar Gren, Gunnar Nordahl, dan Nils Liedholm, Milan menjuarai kompetisi liga yang mulai bernama Serie A pada musim 1950–51, 1954–55, 1956–57, dan 1958–59.

Namun, pada era 70-an, performa Milan kembali menurun. Padahal, kala itu Milan diperkuat pemain berkualitas, antara lain Gianni Rivera, Romeo Benetti, Fabio Cudicini, Giovanni Trapattoni, dan Fabio Capello. Bersama pelatih Nereo Rocco yang diklaim sebagai pencipta sepak bola Catenaccio, I Rossoneri hanya bisa mendapatkan tiga gelar selama 20 tahun.

Era Berlusconi

Kehadiran Silvio Berlusconi sebagai presiden klub pada 20 Februari 1986 membuat Milan yang saat itu hampir bangkrut mampu bangkit, dan menjadi salah satu tim yang ditakuti di Eropa. Beberapa pelatih top seperti Arrigo Sacchi, Fabio Capello, dan Carlo Ancelotti sukses diboyong Berlusconi ke Milan.

Bahkan, semasa di bawah asuhan Capello, Milan sempat mendapatkan label Gli Invicibli, karena tak terkalahkan dalam 58 pertandingan. Mengandalkan nama-nama pemain top seperti trio Belanda, Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard plus Paolo Maldini serta Zvonimir Boban, Milan tak sekalipun menelan kekalahan dari 19 Mei 1991 hingga 21 Maret 1993.

Salah satu perwujudan dari simbol kesuksesan Milan kala itu adalah Van Basten yang kerap disebut Il Cigno, meski ia juga dijuluki Il Ghiaccolo (Si Es-bersumber dari kedinginannya terhadap para wartawan) atau San Marco.

"Pada musim panas 1991, Marco van Basten menanjak dan melesat ke atas, elok dan elusif. Ia bak menolak hukum gravitasi. Kadang mengambang atau melayang, kadang meluncur tipis di atas permukaan, tetapi kedua kakinya seperti tak pernah menyentuh tanah," tulis Zeger van Herwaarden dalam karyanya, Marco van Basten: De Jaren in Italie en Oranje.

Sementara itu, pada era 2000-an, Milan memang sesekali merusak dominasi Juventus yang sanggup mengoleksi enam Scudetto hingga 2015. Milan keluar sebagai kampiun pada musim 2003-04 dan 2010-11. Beda halnya dengan beberapa rivalnya yang memilih dominasi domestik, Milan mencoba mendobrak dogma yang semula menolak kampanye asing di timnya, justru berprestasi di level Eropa.

Dari kurun 2000-2010, Setan Merah mendapatkan dua gelar Liga Champions. Dalam perolehan dua gelar itu tidaklah mudah, butuh "aksi menculik" Carlo Ancelotti dari Juventus pada 2001 dan sambungan telepon legendaris kepada Don Carletto. Bersama Ancelotti lahirlah pula skema pohon natal 4-3-2-1 yang merevolusi pemikiran pelatih-pelatih lainnya dalam memahami olahraga yang indah bernama sepak bola.

"Halo, ini dengan Carlo Ancelotti? Begini... Saya ingin membangun tim yang akan meraih semua gelar yang ada di Eropa," ucap Silvio Berlusconi seperti yang terungkap dalam otobiografi Carlo Ancelotti berjudul, Preferisco La CoppaHasilnya Milan berhasil mendapatkan gelar juara Liga Champions 2002-2003. "Untuk menjuarai turnamen ini, Juventus seharusnya butuh dua pelatih. Saya yang membawa tim ke partai final dan Carlo Ancelotti yang membuat tim ini juara," ungkap pelatih Juventus, Marcelo Lippi kepada Guerin Sportivo.

Kesuksesan Milan pun kembali tercatat pada musim 2006-2007. Pada partai final yang berlangsung di Olympic Stadium, Il Diavolo Rosso menang 2-1 atas Liverpool. Hasil tersebut, sekaligus membalaskan dendam kekalahan Milan dari Liverpool di final Liga Champions 2004-05.

Milan kalah 2-3 lewat adu penalti setelah bermain imbang 3-3 hingga 120 menit. Kekalahan ini bahkan sempat membuat gelandang Andrea Pirlo untuk gantung sepatu seminggu setelahnya. Para pemain Milan yang berlatih di Milanello, disebut Pirlo berjalan seperti zombie. "Kami bangkit lagi dua tahun setelah itu, kami menang berkat dua gol Pippo Inzaghi. Kami memang merayakannya, tetapi tidak melupakannya. Kami ingin melakukan itu, tetapi tidak bisa. Luka itu tetaplah ada," tulis Andrea Pirlo di buku biografinya.

Transisi

Sejak ditinggal para pemain senior seperti Paolo Maldini, Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Filippo Inzaghi, Nelson Dida, Andrea Pirlo, Clarence Seedorf, hingga Kaka pada periode 2009 hingga 2010, Milan seperti kehilangan taji. Skuat Merah-Hitam yang telah mengoleksi 18 gelar liga, tidak lagi menjuarai Serie-A yang terakhir kali diraih pada musim 2010-11 saat masih dilatih Massimiliano Allegri. 

Setelah terpuruk dalam beberapa musim terakhir, AC Milan mencoba bangkit pada musim 2015-16. Sinisa Mihajlovic ditunjuk sebagai pelatih, dan sejumlah pemain berhasil didapatkan demi mendongkrak performa tim, mulai dari Andrea Bertolacci, Luiz Adriano, hingga Carlo Bacca.

Namun, waktu dan kesabaran bukanlah kelebihan yang dimiliki oleh manajemen Rossoneri. Clarence Seedorf dan Filippo Inzaghi yang diklaim "Sir Alex Ferguson-nya AC Milan" oleh Adriano Galliani, dipersilakan untuk angkat kaki dari San Siro. Belum lagi Miha dikabarkan menemukan situasi yang rumit di Milanello dan dia mengaku membutuhkan waktu.

Maklum, Mihajlovic membangun skuat Milan dengan pemain-pemain yang sebagian besar direkrut dengan sistem loan to buy. Beruntunglah, Milan rela menggelontoran dana sebesar 90 juta euro untuk memboyong pemain baru agar dapat kembali bersaing di Serie-A yang makin kompetitif pada musim tersebut.

Di tengah proses tersebut, manajemen Milan pun mencanangkan target ringan, yakni hanya menjuarai Coppa Italia. Gelar tersebut diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan tim dan para pemain agar rencana besar lainnya bisa berjalan dengan baik. Rencana besar yang diharapkan bisa mengobati berbagai kerinduan para suporter Milan atas romantisme sejarah kebesaran mereka sejak 116 tahun silam. 

Buon Compleanno, AC Milan!

#catatan 116 Tahun AC Milan - 2015

Sumber: Berbagai sumber [Bola.com]

Post a Comment