Konsep Pendidikan Inklusif

Table of Contents

Konsep-Pendidikan-Inklusif

INFO DAPODIK & PENDIDIKAN. Inklusif sosial adalah pendekatan untuk mencari cara agar setiap anak tanpa kecuali dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan masyarakat. 

Inklusif sosial juga dapat berarti bahwa hak setiap anak dilindungi dan dipastikan agar semua anak sepenuhnya dilibatkan dalam program pendidikan terlepas dari kondisi kemiskinan, gender, disabilitas dan terbatasnya  kesempatan pendidikan.

Isu dan aspek-aspek yang terkait dengan inklusif sosial meliputi hak anak, pendidikan inklusif, disabilitas, gender, kemiskinan, penyakit, dan anak sebagai korban.

Pengertian Pendidikan Inklusif

Inklusif diambil dari kata dalam bahasa inggris yakni “to include” atau “inclusion” atau “inclusive” yang berarti mengajak masuk atau mengikutsertakan. 

Dalam pengertian “Inklusif” yang diajak masuk atau yang diikutsertakan adalah menghargai dan merangkul setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin, etnik, usia, agama, bahasa, budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik, kemampuan dan kondisi beda lainnya (UNESCO: 2001; 17).

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap pembelajaran dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan.

Untuk itu, pendidikan inklusif dipahami sebagai sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan yang dapat menghalangi setiap individu siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang dilengkapi dengan layanan pendukung. 

Inklusif merupakan perubahan praktis dan sederhana yang memberi peluang kepada setiap individu dengan setiap perbedaannya untuk bisa berhasil dalam belajar. 

Perubahan ini tidak hanya menguntungkan individu yang sering tersisihkan seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orang tuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat dan lingkungannya juga mendapatkan keuntungan dari setiap perubahan yang dilakukan.

Tujuan Pendidikan Inklusif

Secara umum pendidikan inklusif diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:

  • Memastikan bahwa semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang terjangkau, efektif, relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya;
  • Memastikan semua pihak untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar seluruh anak terlibat dalam proses pembelajaran Jadi, Inklusif dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan mengurangi keterpisahannya dari budaya, kurikulum dan komunitas sekolah setempat.

Sementara itu tujuan pendidikan inklusif sebagaimana tercantum dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Indonesia, Kemdiknas Tahun 2007 adalah sebagai berikut:

  • Memberikan kesempatan kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya;
  • Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar;
  • Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
  • Menciptakan model pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
  • Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 32 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat 2 yang berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal  51 yang berbunyi anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa".

Aspek dalam Pendidikan Inklusif

  • Restrukturisasi budaya, kebijakan dan praktik untuk merespon keberagaman siswa dalam lingkungannya; 
  • Pembelajaran dan partisipasi semua anak yang rentan akan tekanan eksklusi (bukan hanya siswa penyandang cacat); 
  • Meningkatkan mutu sekolah untuk stafnya maupun siswanya; 
  • Mengatasi hambatan akses dan partisipasinya; 
  • Hak siswa untuk dididik di dalam lingkungan masyarakatnya; 
  • Memandang keberagaman sebagai kekayaan sumber, bukan sebagai masalah; 
  • Saling memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat; 
  • Memandang pendidikan inklusif sebagai satu aspek dari masyarakat Inklusif.

Prinsip Pendidikan Inklusif

  • Terbuka, adil, tanpa diskriminasi; 
  • Peka terhadap setiap perbedaan; 
  • Relevan dan akomodatif terhadap cara belajar; 
  • Berpusat pada kebutuhan dan keunikan setiap individu peserta didik; 
  • Inovatif dan fleksibel; 
  • Kerja sama dan saling mengupayakan bantuan; 
  • Kecakapan hidup yang mengefektifkan potensi individu peserta didik dengan potensi lingkungan;

Landasan Pendidikan Inklusif

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis dalam penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman: 2003). 

Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinnekaan manusia, baik kebhinnekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinnekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb.

Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya.

Meskipun adanya keberagaman, namum kesamaan misi yang diemban di bumi ini adalah membangun kebersamaan dan interaksi yang dilandasi saling membutuhkan. 

Bertolak dari filosofi Bhinneka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinnekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. 

Di dalam diri individu berkelainan, pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. 

Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. 

Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi, seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari. 

2. Landasan Yuridis

Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO: 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. 

Deklarasi ini sebenarnya merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948, dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB Tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. 

Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogianya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. 

Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut. 

Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. 

Teknis penyelenggaraannya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional. 

3. Landasan Pedagogis

Dalam  Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 3, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. 

Jadi, melalui pendidikan, semua peserta didik termasuk yang berkebutuhan khusus, dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. 

Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal anak berkubutuhan khusus diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. 

Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

4. Landasan Empiris

Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). 

Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. 

Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick ;1982). 

Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). 

Beberapa peneliti kemudian melakukan analisis lanjut atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 penelitian menunjukkan bahwa pendidikan Inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

Kesimpulan

Dengan memahami pendidikan inklusif, kepala sekolah dan pengawas  diharapkan dapat mengembangkan sekolah menuju sekolah yang berwawasan pendidikan Inklusif. 

Sekolah yang berperspektif pendidikan Inklusif menunjukkan suasana lingkungan sekolah yang ramah dan nyaman untuk pembelajaran semua anak tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan kondisi fisik. 

Karena itu, kepala sekolah dan pengawas sekolah dituntut melakukan perubahan terutama dalam penyediaan akses dan sumber daya lingkungan, fisik, sosial, maupun akademik.

Daftar Pustaka

Dit. PKLK, Kemdiknas, (2007), Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta.

Pusbang Tendik, Kemdikbud, (2014) BPU Pendidikan Inklusif Menuju Masyarakat Inklusif. Jakarta.

Glosarium

ABK  adalah Anak Berkebutuhan Khusus

Aksesibilitas adalah Tingkat kemudahan yang dicapai oleh orang terhadap  satu objek, layanan ataupun lingkungan. 

Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin, ras, rasial, dan sosial.

Gender merupakan bentukan, konstruksi, atau interpretasi/tafsiran masyarakat atas perbedaan kondisi biologis perempuan dan laki-laki. 

Gender bukan sesuatu yang dibawa dan ditetapkan sejak lahir, melainkan dibentuk, dikembangkan, dan dimantapkan oleh masyarakat.

Masyarakat Inklusif adalah masyarakat yang menghargai perbedaan gender, usia, kecacatan, kelompok etnis, linguistik. Partisipasi aktif untuk semua. Diskriminasi tidak dibiarkan.

Terima Kasih.

Salam Literasi!

Salam Satu Data Pendidikan Indonesia.

Post a Comment