Tentang Gerakan Literasi Nasional

Table of Contents

 Tentang-Gerakan-Literasi-Nasional

Sejak  tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membentuk kelompok kerja Gerakan Literasi Nasional untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan literasi yang dikelola unit-unit kerja terkait. 

Gerakan Literasi Masyarakat, misalnya, sudah lama dikembangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas), sebagai tindak lanjut dari program pemberantasan buta aksara yang mendapatkan penghargaan UNESCO pada tahun 2012 (angka melek aksara sebesar 96,51%). 

Sejak tahun 2015 Ditjen PAUD Dikmas juga menggerakkan literasi keluarga dalam rangka pemberdayaan keluarga meningkatkan minat baca anak.

Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal. 

Tahun 2017 ini Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis.

Pada tahun 2017 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diberi amanah menjadi Koordinator GLN. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain penajaman konsep GLN, Diskusi Kelompok Terpumpun dengan pakar dan pegiat literasi, lokakarya penyusunan peta jalan, panduan, dan materi pendukung GLN, Diskusi Kelompok Terpumpun dengan Kementerian/Lembaga, koordinasi dan sinkronisasi kegiatan lintas unit utama, dan persiapan pencanangan GLN yang akan digelar bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2017 di Plasa Insan Berprestasi, Gedung Ki Hajar Dewantara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Gerakan Literasi Nasional merupakan upaya untuk memperkuat sinergi antarunit utama pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia. 

Gerakan ini akan dilaksanakan secara menyeluruh dan serentak, mulai dari ranah keluarga sampai ke sekolah dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Meningkatkan literasi bangsa perlu dibingkai dalam sebuah gerakan nasional yang terintegrasi, tidak parsial, sendiri-sendiri, atau ditentukan oleh kelompok tertentu. 

Gerakan literasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua pemangku kepentingan termasuk dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi sosial, pegiat literasi, orang tua, dan masyarakat. 

Oleh karena itu, pelibatan publik dalam setiap kegiatan literasi menjadi sangat penting untuk memastikan dampak positif dari gerakan peningkatan daya saing bangsa.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti

Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. 

Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) adalah kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. 

Pelaksanaan Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) didasari pertimbangan bahwa masih terabaikannya implementasi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang berakar dari Pancasila yang masih terbatas pada pemahaman nilai dalam tataran konseptual, belum sampai mewujud menjadi nilai aktual dengan cara yang menyenangkan di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti mengganti/mencabut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2015 tentang Gerakan Pembudayaan Karakter di Sekolah.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti ditetapkan di Jakarta oleh Mendikbud Anies Baswedan pada tanggal 13 Juli 2015. Permendikbud 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti berlaku dan diundangkan pada tanggal 23 Juli 2015 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1072.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015

Tantangan dan Peluang Masa Depan

Indonesia dengan sumber daya alam yang kaya dan penduduk terbesar keempat di dunia berpeluang menjadi negara maju bila sumber daya tersebut dikelola dengan baik.

Hasil studi McKinsey Global Institute (2012) yang menempatkan Indonesia di antara tujuh negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030 membangkitkan optimisme baru bagi bangsa dalam meningkatkan daya saing dan kerja samanya di forum internasional. 

Ini dibuktikan, antara lain, dengan indeks daya saing global Indonesia yang cukup baik, yaitu pada peringkat 41 dari 138 negara. Untuk menjaga agar laju pembangunan Indonesia berada pada kerangka pencapaian cita-cita bangsa menjadi bangsa yang maju, sebagaimana yang diamanatkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, diperlukan gerakan berskala nasional yang mampu mengatasi berbagai hambatan dan memanfaatkan tantangan menjadi peluang.

Gerakan besar perlu diprioritaskan dalam hal peningkatan mutu sumber daya manusia sebagai indikator kunci peningkatan daya saing bangsa. 

Keberagaman Indonesia dengan 1.340 etnis dan 646 bahasa daerah serta kondisi geografis dan luasnya wilayah Indonesia merupakan tantangan besar bagi upaya meningkatkan mutu SDM, untuk memastikan layanan pendidikan bagi 268.059 satuan pendidikan, 2.888.548 guru, dan 44.573.106 siswa (PDSPK, 2017). 

Beberapa data internasional terkait SDM menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia Indonesia saat ini berada pada peringkat 113 dari 187 negara (UNDP, 2016), jauh di bawah peringkat negara ASEAN lainnya. Sementara itu, dalam penguasaan literasi, Indonesia menempati urutan 60 dari 61 negara (Central Connecticut State University, 2016). 

Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei penilaian siswa pada PISA 2015 (diumumkan pada awal Desember 2016) yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. 

Selama kurun waktu 2012–2015, skor PISA untuk kemampuan membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397, sedangkan sains naik 21 poin dari 382 menjadi 403, dan matematika naik 11 poin dari 375 menjadi 386. 

Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca, khususnya teks dokumen pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun, berada di peringkat sepuluh terbawah. 

Hasil skor Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) atau Indonesia National Assessment Programme (INAP) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains bagi siswa sekolah dasar juga menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Meskipun secara nasional kemampuan siswa dikategorikan cukup baik di bidang matematika (77,13%) dan sains (73,61%), kemampuan membaca siswa masih sangat rendah, yaitu 46,83%. 

Mencermati data di atas, rendahnya literasi bangsa menjadi persoalan serius dan memerlukan penanganan khusus untuk melancarkan jalan Indonesia menjadi negara maju. 

Sekarang ini literasi tidak lagi hanya dipahami sebagai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi sebagai kecakapan hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Warga yang literat dan kehidupan yang berkualitas merupakan ciri negara maju. 

Hanya dengan meningkatkan literasi warganya Indonesia akan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu bersanding dengan negara-negara maju.

Meningkatkan literasi bangsa perlu dibingkai dalam sebuah gerakan nasional yang terintegrasi, tidak parsial, sendiri-sendiri, atau ditentukan oleh kelompok tertentu. 

Gerakan literasi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua pemangku kepentingan termasuk dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi sosial, pegiat literasi, orang tua, dan masyarakat. 

Oleh karena itu, pelibatan publik dalam setiap kegiatan literasi menjadi sangat penting untuk memastikan dampak positif dari gerakan peningkatan daya saing bangsa.

Menjawab tantangan di atas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016 membentuk kelompok kerja Gerakan Literasi Nasional untuk mengoordinasikan berbagai kegiatan literasi yang dikelola unit-unit kerja terkait. 

Gerakan Literasi Masyarakat, misalnya, sudah lama dikembangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas), sebagai tindak lanjut dari program pemberantasan buta aksara yang mendapatkan penghargaan UNESCO 2012 (angka melek aksara sebesar 96,51%). 

Sejak tahun 2015 Ditjen PAUD Dikmas juga menggerakkan literasi keluarga dalam rangka pemberdayaan keluarga meningkatkan minat baca anak. Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal. 

 Tahun 2017 ini Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis.

Gerakan Literasi Nasional merupakan upaya untuk memperkuat sinergi antarunit utama pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia. 

Gerakan ini akan dilaksanakan secara menyeluruh dan serentak, mulai dari ranah keluarga sampai ke sekolah dan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.  

Arah Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan

Janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menempatkan pembangunan pendidikan dan kebudayaan menjadi agenda utama pada setiap periode pemerintahan. 

Janji tersebut dipertegas pada batang tubuh UUD, Pasal 28 C ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia. 

Selain itu, Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Dalam menjalankan amanat konstitusi itu, pemangku kepentingan merujuk aturan perundang-undangan terkait pendidikan, antara lain, sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk mewujudkan sistem pendidikan yang kuat dan berwibawa dengan memberdayakan semua warga negara Indonesia.  
  2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 tentang arah pembangunan pendidikan dan kebudayaan untuk mewujudkan Nawacita, khususnya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas dan daya saing, melakukan revolusi karakter bangsa, memperteguh kebinekaan, dan memperkuat restorasi sosial Indonesia (Nawacita 5, 6, 8, dan 9).

Gerakan Literasi Nasional merupakan salah satu program prioritas dalam rangka mendukung arah dan kebijakan pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Dengan merujuk aturan perundang-undangan yang berlaku, GLN dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan daya saing bangsa melalui penguatan ekosistem pendidikan. 

Hal ini sejalan dengan visi Kemendikbud untuk membentuk insan dan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan dilandasi semangat gotong royong. 

Pentingnya Literasi

Peningkatan daya saing regional merupakan tema pembangunan pendidikan pada periode 2015–2019. Periode ini ditetapkan pula sebagai era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mendorong peningkatan daya saing antarnegara agar mampu bersaing di kawasan regional dan global. 

Dalam konteks ini Forum Ekonomi Dunia 2015 mengisyaratkan keterampilan abad ke-21 yang perlu dimiliki bangsa-bangsa di dunia. Keterampilan tersebut meliputi literasi dasar, kompetensi, dan karakter.

Agar mampu bertahan pada era abad ke-21, masyarakat harus menguasai enam literasi dasar, yaitu (1) literasi baca tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi digital, (5) literasi finansial, serta (6) literasi budaya dan kewargaan.

Untuk mampu bersaing, warga dunia harus memiliki kompetensi yang meliputi berpikir kritis/memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Sementara itu, untuk memenangkan persaingan, masyarakat harus memiliki karakter yang kuat yang meliputi iman dan takwa, rasa ingin tahu, inisiatif, kegigihan, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, serta kesadaran sosial dan budaya.

Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini semakin meneguhkan pentingnya penguatan literasi dasar, kompetensi, dan karakter bangsa Indonesia. Merebaknya berita bohong di media sosial dan rentannya ikatan kebinekaan ditengarai sebagai akibat kurangnya pemahaman literasi (khususnya literasi informasi dan literasi kewargaan), rendahnya kompetensi, dan rapuhnya karakter masyarakat. Mudahnya masyarakat memberi dan/atau menerima berita bohong berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Literasi diartikan UNESCO sebagai keaksaraan, yaitu rangkaian kemampuan menggunakan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung yang diperoleh dan dikembangkan melalui proses pembelajaran dan penerapan di sekolah, keluarga, masyarakat. 

Namun, dalam tiga dekade terakhir, makna dan cakupan literasi berkembang luas meliputi: 

  1. Literasi sebagai suatu rangkaian kecakapan membaca, menulis, dan berbicara, kecakapan berhitung, dan kecakapan dalam mengakses dan menggunakan informasi; 
  2. Literasi sebagai praktik sosial yang penerapannya dipengaruhi oleh konteks; 
  3. Literasi sebagai proses pembelajaran dengan kegiatan membaca dan menulis sebagai medium untuk merenungkan, menyelidik, menanyakan, dan mengkritisi ilmu dan gagasan yang dipelajari; dan 
  4. Literasi sebagai teks yang bervariasi menurut subjek, genre, dan tingkat kompleksitas bahasa. 

Sebagai poros pendidikan sepanjang hayat, literasi harus terus ditingkatkan karena tingkat literasi suatu bangsa berkorelasi positif dengan kualitas hidup dan kemajuan bangsa. 

Sejarah bangsa kita pun mencatat bahwa para pendiri bangsa yang mengantarkan Indonesia menjadi negara yang merdeka dan bermartabat adalah orang-orang dengan budaya literasi yang sangat baik. Mereka adalah para pembaca buku yang menuangkan pemikiran-pemikirannya dengan menulis.

Pendidikan menjadi prioritas utama dalam membangun dan meningkatkan kualitas manusia. Literasi sebagai instrumen kunci dalam meningkatkan kualitas hidup harus diperkenalkan kepada peserta didik sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. 

Dengan demikian, literasi tidak hanya dipahami sebagai transformasi individu semata, tetapi juga sebagai transformasi sosial. Rendahnya tingkat literasi sangat berkorelasi dengan kemiskinan, baik dalam arti ekonomis maupun dalam arti yang lebih luas. Literasi memperkuat kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat untuk mengakses kesehatan, pendidikan, serta ekonomi dan politik. 

Dalam konteks kekinian, literasi memiliki arti tidak hanya sekadar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga melek ilmu pengetahuan dan teknologi, keuangan, budaya dan kewargaan, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. 

Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus menguasai literasi yang dibutuhkan untuk dijadikan bekal dalam mencapai dan menjalani kehidupan yang berkualitas, baik masa kini maupun masa yang akan datang. 

Prinsip Gerakan Literasi

Gerakan literasi dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

Berkesinambungan

Sebagai suatu gerakan, literasi harus dilaksanakan secara terusmenerus dan berkesinambungan, tidak bergantung pada pergantian pemerintahan. Literasi harus menjadi program prioritas pemerintah yang selalu dikampanyekan kepada seluruh lapisan masyarakat, pemimpin, tokoh masyarakat, tokoh agama, cendekia, remaja, orang tua, dan warga masyarakat sehingga budaya literasi terbentuk di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Terintegrasi

Pelaksanaan literasi harus terintegrasi dengan program yang dilaksanakan oleh Kemendikbud dan kementerian dan/atau lembaga lain, termasuk nonpemerintah. Dengan demikian, literasi menjadi bagian yang saling menguatkan dengan program lain. 

Melibatkan Semua Pemangku Kepentingan

Sebagai suatu gerakan, literasi harus memberikan kesempatan dan peluang untuk keterlibatan semua pemangku kepentingan, baik secara individual maupun kelembagaan. 

Literasi harus menjadi milik bersama, menyenangkan, dan mudah dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. 

Dimensi Literasi

Literasi Baca dan Tulis

Literasi baca dan tulis adalah pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah, dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial.

Literasi Numerasi

Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk:  

  • Bisa memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan, dan mengkomunikasikan berbagai macam angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari; 
  • Bisa menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dan sebagainya.) untuk mengambil keputusan.

Literasi Sains

Literasi sains adalah pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli dalam isu-isu yang terkait sains.

Literasi Digital

Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Literasi Finansial

Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan:

  • Pemahaman tentang konsep dan risiko, 
  • Keterampilan, dan 
  • Motivasi dan pemahaman agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat.

Literasi Budaya dan Kewargaan

Literasi budaya adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah pengetahuan dan kecakapan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat.

Demikian sekilas tentang Gerakan Literasi Nasional, sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. 

Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. 

Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

Keberadaan GLN dapat menjadi fondasi awal Indonesia untuk meningkatkan minat baca masyarakat jika dikelola dan dilaksanakan dengan baik. Dengan meningkatnya minat baca masyarakat, kecerdasan bangsa Indonesia lambat laun juga akan terbangun. 

Dalam jangka panjang berbagai kemajuan di Indonesia akan semakin menuju titik terang dan bahkan dapat bersaing dengan negara-negara maju saat ini.

Usaha pemerintah melalui GLN merupakan bentuk keseriusan untuk memberantas buta aksara, meningkatkan minat baca, dan menumbuhkan budaya literasi masyarakat. 

Oleh karena itu, dukungan semua pihak sangat diperlukan. Keberhasilan GLN ditentukan tidak saja oleh baik tidaknya program dan strategi pengembangannya, tetapi juga oleh keterlibatan semua unsur masyarakat dalam mendukung program GLN. 

Tanpa dukungan semua pihak, upaya yang dilakukan oleh Kemendikbud ini tidak akan mencapai hasil yang dicita-citakan.

Salam Literasi!


Sumber: Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional

Post a Comment