Widget HTML #1

Gerakan Literasi Sekolah [GLS]

 Gerakan-Literasi-Sekolah-[GLS]


INFO DAPODIK & PENDIDIKAN - Gerakan Literasi Sekolah [GLS] adalah tema atau judul dari tulisan kali ini.

Pada kesempatan ini Admin akan membagikan informasi tentang seputar Gerakan Literasi Sekolah [GLS] untuk Anda.

Untuk itu, silahkan Anda simak penjelasan dari Gerakan Literasi Sekolah [GLS] di bawah ini ya...

Pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah melalui penyediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca anak. 

Sebagai bagian penting dari penumbuhan budi pekerti, minat baca anak perlu dipupuk sejak usia dini mulai dari lingkungan keluarga. 

Minat baca yang tinggi, didukung dengan ketersediaan bahan bacaan yang bermutu dan terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis, baik di sekolah maupun di masyarakat. 

Dengan kemampuan membaca ini pula literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan.

Literasi Sebagai Gerakan

Gerakan literasi di Indonesia identik dengan upaya pemberantasan buta aksara.

Upaya ini berkelindan antara jalur pendidikan di masyarakat dan di sekolah. Pada awal 1900-an, program ini lebih banyak dilakukan oleh organisasi sosial kemasyarakatan. 

Pada periode sebelum Kebangkitan Nasional (1908–1928), pendidikan diselenggarakan oleh orang tua, komunitas, dan orang-orang tertentu yang diberi tugas dan wewenang khusus sebagai bagian dari otoritas kekuasaan. 

Pada periode Pergerakan Kebangsaan (1928–1945), upaya pemberantasan buta huruf lebih berorientasi pada nasionalisme dan kemerdekaan. 

Penggeraknya adalah tokoh-tokoh, perkumpulan, dan masyarakat. Pemberantasan buta huruf pada masa itu masih terbatas karena Belanda tidak bersungguh-sungguh ingin mencerdaskan bangsa Indonesia.

Pada periode awal kemerdekaan (1945–1950), Bagian Pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran mulai dibentuk, yang selanjutnya berubah menjadi Jawatan Pendidikan Masyarakat pada 1949. 

Pada periode ini, program pemberantasan buta aksara mulai terorganisasi. Jumlah penduduk buta aksara mencapai 95%.

Berikutnya, pada periode Pemberantasan Buta Huruf Massal (1950–1974), penduduk Indonesia yang masih buta huruf diperkirakan sebanyak 40%. 

Pada masa ini, kegiatan pemberantasan buta aksara dilakukan melalui komando Presiden Soekarno sehingga kegiatannya disambut masyarakat. 

Badan-badan di tingkat pusat dan daerah mulai terbentuk. 

Pada 31 Desember 1964 Presiden Soekarno memproklamasikan kepada dunia luar bahwa semua penduduk Indonesia usia 13–45 tahun sudah bebas buta huruf, kecuali Irian Barat.

Pada periode Pemberantasan Buta Huruf Paket A (1974–1990), Kemendikbud mengembangkan paket belajar pendidikan dasar bagi orang dewasa. 

Paket ini dikenal juga dengan PBH Kejar Paket A fungsional. 

Pada periode ini sudah dikenalkan Paket A1 sampai Paket A100. 

Pemerintah menyiapkan 100 modul dengan beberapa tingkatan dan klasifikasi. 

Pada 1974 Presiden Soeharto menerbitkan Inpres tentang Program Sekolah Dasar. 

Pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan dan infrastruktur berskala besar.

Bangunan sekolah dasar dibangun di seluruh penjuru tanah air. 

Angka partisipasi sekolah dasar meningkat, dari 41,4% pada 1968 menjadi 79,3% pada 1978. 

Pada 1984 diluncurkan program Pendidikan Wajib Belajar 6 Tahun. 

Gencarnya pembangunan gedung sekolah untuk memberi akses seluas-luasnya kepada anak-anak usia sekolah berimbas pada angka partisipasi sekolah dasar yang pada akhir 1980 mencapai hampir 100%. 

Pada periode Keaksaraan Fungsional (1991–2000), pemberantasan buta aksara lebih difokuskan pada strategi diskusi, membaca, menulis, berhitung, dan kegiatan untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan mengacu pada kebutuhan lokal, desain lokal, serta partisipasi dan fungsionalisasi hasil belajar.

Pada periode Pendidikan Keaksaraan (2000–2006), jumlah penduduk Indonesia yang masih buta aksara diperkirakan 9%. 

Pada tahun 2002, angka melek aksara masyarakat Indonesia mencapai 89,51%. 

Untuk mencapai target tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP PWB-PBA). 

Melalui gerakan ini, semua komponen bangsa dilibatkan, baik di pusat maupun di daerah. 

Pada periode ini mulai diterapkan standar kompetensi lulusan (SKL) sebagai upaya mengawal kualitas lulusan keaksaraan. 

Pada 2015 penduduk Indonesia yang masih buta aksara mencapai 3,56% atau 5,7 juta. Angka ini melebihi target yang ditetapkan pada 2002, yaitu 5%. 

Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan pada fokus pemberantasan buta aksara. 

Melalui penerbitan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, gerakan literasi diarahkan pada kegiatan pembelajaran. 

Pemberantasan buta aksara terus bergulir seiring dengan pelaksanaan gerakan literasi.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 kemudian mendorong munculnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Gerakan Indonesia Membaca (GIM) di Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, dan Gerakan Literasi Bangsa (GLB) di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 

Untuk mewadahi dan memfasilitasi gerakan literasi di lingkungan Kemendikbud, pada 2016 dibentuk Gerakan Literasi Nasional (GLN). 

Secara garis besar, GLN melingkupi gerakan literasi di sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Gerakan Literasi Sekolah

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan gerakan literasi yang aktivitasnya banyak dilakukan di sekolah dengan melibatkan siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan, serta orang tua. 

GLS dilakukan dengan menampilkan praktik baik tentang literasi dan menjadikannya sebagai kebiasaan serta budaya di lingkungan sekolah. 

Literasi juga dapat diintegrasikan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari semua rangkaian kegiatan siswa dan pendidik, baik di dalam maupun di luar kelas. 

Pendidik dan tenaga kependidikan tentu memiliki kewajiban moral sebagai teladan dalam hal berliterasi. 

Agar lebih masif, program GLS melibatkan partisipasi publik, seperti pegiat literasi, orang tua, tokoh masyarakat, dan profesional. 

Dalam pelaksanaannya, GLS memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu: 

  • Berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi, 
  • Bersifat berimbang, 
  • Terintegrasi dengan kurikulum, 
  • Kegiatan membaca dan menulis dilakukan di mana pun, 
  • Mengembangkan budaya lisan, dan 
  • Mengembangkan kesadaran pada keberagaman. 

Literasi Baca-Tulis

Tujuan literasi baca-tulis di lingkungan sekolah mencakup:

  • Meningkatnya sikap positif terhadap bahasa Indonesia yang ditunjukkan melalui keterampilan baca-tulis disertai ekspresi sesuai dengan budaya Indonesia;
  • Meningkatnya kemampuan siswa dalam literasi baca-tulis;
  • Meningkatnya partisipasi publik dalam berbagai kegiatan baca-tulis; dan
  • Tumbuhnya budaya baca-tulis di sekolah sebagai kebutuhan. 

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi baca-tulis di sekolah adalah sebagai berikut:

Basis Kelas

  • Jumlah pelatihan fasilitator literasi baca-tulis untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan; 
  • Intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi numerasi dalam kegiatan pembelajaran, baik berbasis masalah maupun berbasis proyek; dan 
  • Skor literasi membaca dalam PISA, PIRLS, dan INAP.

Basis Budaya Sekolah

  • Jumlah dan variasi bahan bacaan; 
  • Frekuensi peminjaman bahan bacaan di perpustakaan; 
  • Jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan literasi baca-tulis; 
  • Terdapat kebijakan sekolah mengenai literasi baca-tulis; 
  • Jumlah karya (tulisan) yang dihasilkan siswa dan guru; dan 
  • Terdapat komunitas baca-tulis di sekolah. 

Basis Masyarakat

  • Jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi baca-tulis di sekolah; dan 
  • Tingkat keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan literasi baca-tulis di sekolah.

Literasi Numerasi

Literasi numerasi di sekolah bersifat praktis (digunakan dalam kehidupan sehari-hari), rekreasi (misalnya, memahami skor dalam olahraga dan permainan), dan kultural (sebagai bagian dari pengetahuan mendalam dan kebudayaan dari manusia madani). 

Selain itu, literasi numerasi berkaitan dengan kewarganegaraan (memahami isu-isu dalam komunitas) dan profesional (isu-isu dalam pekerjaan). 

Cakupan literasi numerasi sangat luas, tidak hanya di dalam mata pelajaran matematika, tetapi juga beririsan dengan literasi lainnya, misalnya, literasi kebudayaan dan kewargaan. 

Tujuan literasi numerasi di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut:

  • Meningkatnya kesadaran guru terhadap penggunaan numerasi dalam pembelajaran.
  • Meningkatnya pandangan dan sikap positif peserta didik terhadap numerasi. 
  • Meningkatnya budaya berpikir sistematis, rasional dan dapat menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan numerasi di sekolah. 
  • Meningkatnya kemampuan peserta didik dalam literasi numerasi. 
  • Meningkatnya kecakapan multiliterasi melalui literasi numerasi. (garis pantai Indonesia-impor garam: literasi numerasi dan kewarganegaraan).

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi numerasi di sekolah adalah:

Basis Kelas

  • Jumlah pelatihan guru matematika dan non-matematika. 
  • Intensitas pemanfaatan dan penerapan numerasi dalam pembelajaran. 
  • Jumlah pembelajaran matematika berbasis permasalahan dan pembelajaran matematika berbasis proyek. 
  • Jumlah pembelajaran non-matematika yang melibatkan unsur literasi numerasi. 
  • Nilai Skor Matematika Pisa/ TIMSS/ INAP.

Basis Budaya Sekolah

  • Jumlah dan variasi bahan bacaan literasi numerasi. 
  • Frekuensi peminjaman bahan bacaan literasi numerasi. 
  • Jumlah kegiatan literasi numerasi di sekolah. 
  • Jumlah penyajian informasi dalam bentuk presentasi numerasi (contoh: grafik frekuensi peminjaman buku di perpustakaan). 
  • Adanya kebijakan sekolah mengenai literasi numerasi. 
  • Akses situs daring yang berhubungan dengan literasi numerasi. 
  • Alokasi dana untuk literasi numerasi.
  • Adanya tim literasi sekolah.

Basis Masyarakat

  • Jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi numerasi di sekolah. 
  • Keterlibatan orangtua dan masyarakat dalam mengembangkan literasi numerasi di sekolah.

Literasi Sains

Literasi sains di sekolah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang dasar-dasar berbagai cabang sains dan kemampuan untuk mengaplikasikan sains dasar di sekolah sehingga dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal itu dapat dilakukan, antara lain, dengan cara mengidentifikasi pertanyaan, menginterpretasi data dan bukti sains, serta menarik simpulan yang berkenaan dengan alam dan pemeliharaannya.

Tujuan literasi sains di lingkungan sekolah mencakup:

  • Tumbuhnya kesadarpahaman untuk peduli terhadap lingkungan dan pemeliharaannya; 
  • Tumbuhnya budaya berpikir inkuiri (mengamati, selalu bertanya dalam mengidentifikasi masalah, melakukan eksplorasi, dan melakukan penarikan simpulan hingga ke tahap pengambilan keputusan) dalam memecahkan permasalahan sains; 
  • Menguatnya kebiasaan berpikir saintifik, seperti selalu ingin tahu (wonderment), berpikir terbuka (open minded), kreatif, memperhatikan keselamatan, dan menjadi penentu keputusan; 
  • Tumbuhnya kecakapan untuk menghubungkan konsep yang dipelajari di sekolah dengan konteks fenomena alam sekitarnya; dan 
  • Menguatnya kolaborasi dalam perancangan visi dan misi terkait dengan literasi sains yang melibatkan warga sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi sains di sekolah adalah sebagai berikut:

Basis Kelas

  • Jumlah pelatihan guru sains dan non-sains; 
  • Intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi sains dalam pembelajaran; 
  • Jumlah pembelajaran sains berbasis permasalahan dan berbasis proyek; 
  • Jumlah pembelajaran nonsains yang melibatkan unsur literasi sains; 
  • Skor literasi sains dalam PISA/TIMSS/INAP; dan 
  • Jumlah produk yang dihasilkan peserta didik melalui pembelajaran sains berbasis proyek.

Basis Budaya Sekolah

  • Jumlah dan variasi bahan bacaan literasi sains; 
  • Frekuensi peminjaman bahan bacaan literasi sains; 
  • Jumlah kegiatan literasi sains di sekolah; 
  • Akses situs daring yang berhubungan dengan literasi sains; 
  • Jumlah kegiatan bulan literasi sains; 
  • Alokasi dana untuk literasi sains; 
  • Adanya tim literasi sekolah; 
  • Adanya kebijakan sekolah mengenai literasi sains; dan 
  • Jumlah penyajian informasi literasi sains dalam berbagai bentuk. (Contoh: infografis dan alat peraga tentang proses terjadinya hujan).

Basis Masyarakat

  • Jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi sains; dan 
  • Keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan literasi di sekolah.

Literasi Digital

Literasi digital di sekolah diarahkan agar siswa, pendidik, guru, dan tenaga kependidikan memiliki kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, dan jaringannya. 

Melalui kemampuan tersebut, mereka dapat mengolah dan membuat informasi baru, kemudian menyebarkannya secara bijak. 

Selain mampu menguasai dasar-dasar komputer, internet, program-program produktif, serta keamanan dan kerahasiaan sebuah aplikasi, mereka juga diharapkan memiliki gaya hidup digital sehingga semua aktivitas kesehariannya tidak lepas dari pola pikir dan perilaku masyarakat digital yang serba efektif dan efisien. 

Adapun tujuan dari literasi digital di lingkungan sekolah adalah sebagai berikut:

  • Meningkatnya kemampuan berfikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam menggunakan media digital dan internet di lingkungan sekolah; 
  • Meningkatnya sikap positif, bijak, cermat, dan tepat dalam menggunakan dan mengelola media digital dan internet di lingkungan sekolah; 
  • Meningkatnya keterampilan anggota keluarga dalam menggunakan media digital dan internet di lingkungan sekolah; 
  • Meningkatnya akses sekolah dalam menggunakan media digital dan internet; dan 
  • Meningkatnya partisipasi publik dalam mengembangkan literasi digital di sekolah (melaui pelatihan, penyediaan akses, dan penyediaan bahan bacaan).

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi digital di sekolah adalah sebagai berikut:

Basis Kelas

  • Jumlah pelatihan literasi digital bagi kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan; 
  • Intensitas penerapan dan pemanfaatan literasi digital dalam kegiatan pembelajaran; dan 
  • Tingkat pemahaman kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, dan siswa dalam menggunakan media digital dan internet.

Basis Budaya Sekolah

  • Jumlah dan variasi bahan bacaan dan alat peraga berbasis digital; 
  • Frekuensi peminjaman buku bertema digital; 
  • Jumlah kegiatan di sekolah yang memanfaatkan teknologi dan informasi; 
  • Jumlah penyajian informasi sekolah dengan menggunakan media digital atau laman; 
  • Jumlah kebijakan sekolah tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan sekolah; dan 
  • Tingkat pemanfaatan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam hal layanan sekolah (misalnya, rapot-e, pengelolaan keuangan, dapodik, pemanfaatan data siswa, profil sekolah, dan sebagainya).

Basis Masyarakat

  • Jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi digital di sekolah; dan 
  • Tingkat keterlibatan orang tua, komunitas, atau lembaga dalam pengembangan literasi digital.

Literasi Finansial

Literasi finansial di sekolah dapat dimaknai sebagai keterampilan dan kemampuan siswa, pendidik, dan tenaga pendidik dalam mengelola keuangan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. 

Dalam hal ini, mereka diharapkan mampu menghasilkan, memanfaatkan, merencanakan, mengelola keuangan secara taktis, efisien, dan bijak untuk kesejahteraan hidupnya. 

Tujuan literasi finansial di lingkungan sekolah mencakup:

  • Meningkatnya frekuensi pemanfaatan bahan bacaan literasi finansial; 
  • Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan finansial di lingkungan sekolah; 
  • Tumbuhnya budaya literasi finansial, seperti gaya hidup jujur, ugahari, menabung, berbagi, dan praktik baik lainnya di sekolah; dan 
  • Tumbuhnya partisipasi lembaga keuangan di lingkungan sekolah.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi finansial di sekolah adalah sebagai berikut:

Basis Kelas

  • Meningkatnya jumlah pelatihan literasi finansial untuk kepala sekolah, guru, dan manajemen sekolah; 
  • Meningkatnya intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi numerasi dalam kegiatan pembelajaran; dan 
  • Meningkatnya skor literasi finansial berdasarkan OJK dan lembaga lainnya.

Basis Budaya Sekolah

  • Meningkatnya jumlah dan variasi buku dan alat peraga berbasis literasi finansial; 
  • Meningkatnya frekuensi peminjaman bahan bacaan literasi finansial; 
  • Meningkatnya jumlah kegiatan literasi finansial; 
  • Terdapatnya kebijakan sekolah terkait literasi finansial; 
  • Meningkatnya jumlah penyajian informasi literasi finansial; 
  • Meningkatnya akses situs daring dan luring yang berhubungan dengan literasi finansial; dan 
  • Terdapatnya lembaga keuangan sekolah yang aktif (bank sekolah atau koperasi).

Basis Masyarakat

  • Meningkatnya jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi finansial di sekolah; dan 
  • Meningkatnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan literasi finansial di sekolah.

Literasi Budaya dan Kewargaan

Literasi budaya dan kewargaan di sekolah dapat dipahami sebagai kemampuan siswa, guru, kepala sekolah, dan pengawas dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa serta memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 

Meskipun titik sasar pelaksanaannya di sekolah, aktivitas literasi budaya dan kewargaan juga dapat dilakukan di luar sekolah, misalnya, di perpustakaan daerah, bank, dan kantor pemerintah atau swasta.

Tujuan literasi budaya dan kewargaan di lingkungan sekolah mencakup:

  • Meningkatnya pembiasaan penggunaan budaya di lingkungan sekolah (bahasa daerah, pakaian adat, dan lain-lain); 
  • Tumbuhnya minat dan keingintahuan tentang budaya; 
  • Menguatnya sikap hormat dan taat terhadap aturan yang ada di sekolah; 
  • Menguatnya sikap toleransi terhadap keberagaman di lingkungan sekolah; 
  • Meningkatnya partisipasi aktif siswa dalam kegiatan yang ada di sekolah; dan 
  • Meningkatnya pemahaman dan pelaksanaan terhadap hak dan kewajiban sebagai warga sekolah.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi budaya dan kewargaan di sekolah adalah sebagai berikut:

Basis Kelas

  • Jumlah pelatihan tentang literasi budaya dan kewargaan untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan; 
  • Intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi budaya dan kewargaan dalam pembelajaran; dan 
  • Jumlah produk budaya yang dimiliki dan dihasilkan sekolah.

Basis Budaya Sekolah

  • Jumlah dan variasi bahan bacaan bertema budaya dan kewargaan; 
  • Frekuensi peminjaman buku bertemakan budaya dan kewargaan di perpustakaan; 
  • Jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan budaya; 
  • Terdapat kebijakan sekolah yang dapat mengembangkan literasi budaya dan nillai-nilai kewargaan sekolah; 
  • Terdapat komunitas budaya di sekolah; 
  • Tingkat ketertiban siswa terhadap aturan sekolah; 
  • Tingkat toleransi siswa terhadap keberagaman yang ada di sekolah; dan 
  • Tingkat partisipasi aktif siswa dalam kegiatan di sekolah.

Basis Masyarakat

  • Jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi budaya dan kewargaan; dan 
  • Tingkat keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan literasi budaya dan kewargaan.

Penutup

Pemerintah melalui Kemendikbud telah melaksanakan GLN dengan melibatkan berbagai pihak, baik di lingkungan internal Kemendikbud maupun di lingkungan eksternal Kemendikbud. 

Sebagai sebuah gerakan kebangsaan, dalam pelaksanaannya GLN memerlukan kerja sama seluruh elemen bangsa yang mencakup pejabat daerah, tokoh masyarakat, penerbit, komunitas literasi, dan sebagainya agar apa yang sudah dirancang dapat sejalan dengan arah yang diinginkan.

Program dan kegiatan-kegiatan yang ada di dalam GLN melalui Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Masyarakat diharapkan akan berdampak pada bergeraknya literasi di tiap-tiap bidang dan sendi-sendi kehidupan bangsa sesuai dengan kapasitasnya. 

Dampak tersebut dapat dirasakan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang melalui kegiatan yang bersifat simultan, terarah, dan ditindaklanjuti oleh semua pihak, seperti komunitas baca, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat secara umum. 

Demikianlah informasi di atas tentang Gerakan Literasi Sekolah [GLS] yang telah Admin bagikan kepada Anda semua, semoga dapat bermanfaat.

Terima Kasih.

Salam Literasi!

Salam Satu Data Pendidikan Indonesia.

Post a Comment for "Gerakan Literasi Sekolah [GLS]"